Dewasa ini trending topik media sosial (twitter/instagram/tik-tok) sering kali menjadi alternatif topik, bahkan menjadi berita utama pada beberapa media nasional. Media nasional sebagai ruang mainstream diskusi publik pada beberapa kondisi tertentu diisi oleh topik-topik trending dari media sosial.
Dari sudut pandang ekonomi, hal ini sebenarnya lazim-lazim saja. Media nasional memang bekerja dengan logika rating. Jika ditelaah lebih mendalam topik per topik dari media nasional, maka hemat saya akan kelihatan bagaimana media begitu menghamba rating. Media tidak mau kehilangan rating, kadang dengan mengabaikan informasi apa yang paling penting untuk diketahui publik.
Dengan kata lain, media nasional bisa saja menyodorkan berita-berita receh secara terus-menerus, jika berita-berita tersebut berpotensi rating tinggi. Salah satu contoh pemberitaan yang dapat menggambarkan karakter hamba rating media adalah berita tentang kasus asusila Gisel.
Dari sisi viralitas berita, tidak dapat dipungkiri bahwa berita tersebut memiliki potensi rating yang sangat tinggi. Selain karena Gisel sendiri adalah seorang tokoh publik yang sangat terkenal, topik asusila juga menjadi topik yang sangat seksi untuk dibicarakan. Apalagi mengingat masyarakat Indonesia yang suka dengan berita-berita seperti itu.
Saya secara pribadi setuju bahwa topik pemberitaan mengenai kasus asusila Gisel adalah topik yang bernilai berita tinggi. Angle-angle berita yang tercipta pun sangat banyak. Hal ini terbukti dengan Gading, Gempi, orang tua Gading, orang tua Gisel, dan masih banyak tokoh lain lagi, memiliki headline dan perkembangan berita masing-masing. Bahkan pada level yang lebih buruk, angle-angle yang secara jurnalistik kurang etis malah dieksplor habis-habisan.
Hal ini dapat diamati dari laporan KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) NTB terhadap KPI, yang menyatakan
penayangan berita kasus asusila Gisel dinilai terlalu berlebihan. KPID NTB meminta kpi
untuk menegur stasiun televisi yang berlebihan menayangkan kasus video asusila yang melibatkan Gisel dan Michael itu. Usulan teguran tersebut selain menyangkut nilai jurnalistik, juga menyangkut Gempi selaku anak dari Gisel.
Jejak berita, serta jejak digital yang berisi aib keluarga Gempi bisa berdampak buruk bagi perkembangan psikologisnya. Pemberitaan media mengenai kasus video asusila memang Gisel ini sudah terlalu berlebihan/terus-menerus. Selain itu eksplorasi angel-angel beritanya juga terlalu vulgar.
Wajar saja jika KPID NTB memiliki keresahan demikian. Disini dapat dilihat bagaimana sisi etis jurnalistik berbicara melalui corong KPID seperti dalam kasus di atas. Tanpa menghakimi bahwa berita mengenai Gisel serta perkembangan informasinya bukanlah topik yang penting, cara media memberitakannya terlalu berlebihan. Bukan hanya secara etika jurnalistik, tetapi juga dapat diasumsikan bahwa ada porsi berita lain yang kemudian dikorbankan.
Dengan kata lain, pemberitaan mengenai kasus Gisel tidak sesuai dengan porsi urgensitasnya terhadap kebutuhan informasi publik. Kebutuhan informasi dalam hal ini kemudian akan berdampak pada kesehatan demokrasi. Publik yang disuntik dengan informasi seimbang dan sehat tentunya akan bergerak ke arah yang lebih demokratis pula. Media justru melakukan pemberitaan mengenai Gisel
berdasarkan porsi sensasionalnya atau porsi kontroversialnya. Media tidak peduli dengan
kebutuhan informasi publik.
Media justru memanfaatkan keinginan informasi atau nafsu publik terhadap informasi tertentu demi kepentingan rating.
Urgensitas didahului sensasi. Masalah yang muncul disini menjadi multidimensional. Bukan saja masalah etika, tetapi juga intensitas pemberitaan yang membuat fokus publik tertarik ke berita-berita yang sebenarnya tidak begitu penting untuk diketahui. Media yang seharusnya muncul sebagai agen pembaharuan serta the man of wisdom, di tengah gempuran media sosial, malah sebaliknya muncul sebagai budak buta rating.
Media sosial yang cenderung liar dan sensasional seharusnya dapat dibentuk dengan kharisma media. sebaliknya media malah memanfaatkan sensasi media sosial untuk membuat pemberitaan. Sekejap redaksional media berubah menjadi hastag dominan pada media sosial. Publik hanya disogok dengan iming-iming jurnalistik atau nama besar media.
Ada beberapa asumsi yang dapat terjadi dengan karakter pemberitaan media yang sensasional ini. Yang pertama, fokus publik yang sudah diarahkan kepada topik yang sudah dimonotonisasi untuk kepentingan rating, dapat saja memberi ruang bebas bagi para politikus untuk bermanuver. Ketika media yang berfungsi sebagai pengawas sedang sibuk memberitakan berita-berita sensasional, maka para politikus entah sengaja atau tidak disengaja, memiliki ruang gerak yang lebih bebas.
Pengawasnya masih sibuk mencari uang. Dengan demikian pun publik menjadi buta
informasi mengenai pergerakan mereka. Saya berbicara soal manuver politik, bukan
mengenai kejahatan hukum, yang menjadi wilayah pengadilan.
Bagi kesehatan demokrasi, asumsi ini cukup berbahaya. Jangan sampai publik kehilangan “matanya”, hanya karena media sibuk mencari uang. Asumsi ini didukung dengan terafiliasinya beberapa media besar ke dalam polarisasi politik tertentu. Sangatlah wajar jika publik memiliki kecurigaan yang demikian. Manuver media dapat saja merupakan sebuah tipuan untuk publik agar manuver politik yang lebih besar tidak dapat dilihat oleh publik.
Asumsi yang kedua adalah sejauh mana publik sudah terkontaminasi oleh pemberitaan media secara umum, serta oleh hal-hal berbau sensasional secara khusus. Minat publik terhadap informasi tertentu secara tidak langsung dapat menjadi indikator kesehatan demokrasi. Dari tingkat adiksi publik terhadap informasi-informasi sensasional semisal berita kasus video
asusila Gisel, maka dapat ditakar juga kesehatan demokrasi kita.
Walaupun tidak memiliki hubungan langsung, minat terhadap informasi tertentu misalnya terhadap politik, hukum, dan sebagainya juga merupakan bagian dari proses pendidikan politik atau demokrasi. Semakin publik disuntik dengan informasi-informasi mengenai perkembangan politik, hukum, sosial, demokrasi, dan semacamnya, maka hemat saya semakin pula sehat indeks demokrasi kita. Informasi politik juga sekiranya berpengaruh terhadap tingkat partisipasi politik kita.
Semakin kita apatis terhadap informasi politik, maka semakin kita pasif dalam partisipasinya. Bagian ini tentunya sangat berdampak bagi kesehatan demokrasi kita. Tidak heran jika kemarin kita menyandang gelar sebagai netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Menurut saya kultur pemberitaan media mainstream juga sangat berpengaruh terhadap karakter bangsanya. Semakin sehat dan berimbang pemberitaan yang diberikan, maka sekiranya makin sehat pula indeks demokrasi serta etika kita sebagai sebuah bangsa.
Akhirnya kita sampai pada satu kesimpulan bahwa media itu seharusnya menjadi pelaku
didik, bukan malah pelaku sensasi. Media bukan hanya menyediakan informasi yang publik ingin ketahui, tetapi juga menyediakan informasi yang publik harus/butuh ketahui.
Kira kira menurut penulis, batas batas mana saja yg boleh diekspose oleh media terkait kasus Gisel.
BalasHapus