Air sisa cucian yang sedari tadi ditumpahkan masih saja menetes, menciptakan genangan berlumpur di sekitar tenda cucian. Hampir mirip rawa-rawa kecil. Beberapa bungkus sabun colek ekonomis nampak berserakan di sekitar tenda, begitu juga dengan butir-butir nasi sisa makanan. Tenda cucian yang licin dan hitam legam pada bagian atasnya, genangan lumpur hitam di sekitarnya, serta bungkus-bungkus sabun colek yang sudah pudar warnanya membuktikan umur tenda itu, dan betapa banyaknya air sisa cucian yang selama ini ditumpahkan padanya.
Seorang
wanita jangkung berdaster melangkah ke dalam rumah melalui pintu dapur.
Rambutnya yang sebagian beruban nampak berkilau ditempa cahaya matahari pagi,
khas rambut-rambut wanita desa yang rutin digumuli santan kelapa tua. Otot-otot
tangannya nampak mengencang seiring diangkatnya sebaskom cucian perkakas makan
yang semalam dipakai. Demikian juga dengan otot-otot kaki yang mengancang
seiring ia melangkah, tanda beratnya cucian perkakas yang ia bawa.
Dengan
hati-hati Tina menurunkan baskom tersebut ke lantai tanah, lalu satu persatu
memindahkan perkakas pada rak piring yang sudah mulai miring di sudut dapur.
Sesekali ia berhenti untuk mengambil jeda bagi punggungnya yang berkali-kali
dipaksa naik-turun.
Dari
dalam kamar, terdengar derit tempat tidur, diikuti oleh bunyi tempangan selimut
dan bantal. Beberapa waktu kemudian seorang anak perempuan keluar dari dalam
kamar menuju dapur. Rambutnya nampak masih berantakan. Digosok-gosok matanya,
ditentengnya sebuah sisir plastik yang sudah mulai terkelupas lapisan luarnya.
Mukanya cemberut menandakan belum penuh nyawanya terkumpul.
Diambilnya
sebuah gelas dari rak piring, dituangkannya air dari cerek di meja makan.
Berjalan ia menuju pintu dapur, berkumur ia sejenak, dibuangnya air kumuran
itu, lalu diminumnya sisa air dalam gelas. Mukanya masih saja cemberut. Ia
berjalan menuju pangkuan ibunya yang sedang duduk di depan tungku api, lalu
diberikannya sisir di tangannya.
Pada
tungku di depan mereka, nasi sedang ditanak pada sebuah dandang kecil, porsi
yang cukup untuk mereka berdua. Setengah piring wareng goreng sisa lauk semalam
yang kemarin didapat Tina dari sawah masih menunggu untuk dipanaskan kembali. Di
bagian atas tungku itu terususun rapi setumpuk kayu bakar yang nampak hitam
digumuli asap setiap hari. Tina mulai menyisir rambut anaknya. Begitu lembut Tina
menggumuli rambut anaknya dengan sisir yang sudah tak layak lagi dipakai. Sesekali
sisir itu mampat akibat rambut anaknya yang kian kusut, namun lagi-lagi diatasi
Tina dengan begitu lembut. Perihal menyisir rambut anak, tidaklah ada yang
lebih pandai dari seorang ibu. Tina membuktikannya setiap hari tanpa sedikitpun
membiarkan rambut anaknya kusut.
Tina
dan anak sematawayangnya Nika, sudah lama hidup berdua. Beberapa tahun lalu,
suami Tina memutuskan untuk merantau dan meninggalkan ia dan anaknya. Sudah
lama suaminya tidak berkabar. Beberapa kabar burung pernah sampai ke telinga Tina.
Ada yang bilang suaminya sudah meninggal karena penyakit paru, ada juga yang
bilang suaminya sudah mengambil istri baru.
Bagi
Tina, suaminya sudah mati sejak dua tahun pertama perantauan. Tidak ada kisah
lain yang bisa hinggap di telinga Tina. Sudah mati atau masih hidup, Tina
benar-benar sudah membunuh sosok suaminya dari kepala dan kehidupannya. Hal
yang sama menjadi jawaban Tina setiap kali Nika menanyakan perihal dimana
ayahnya sekarang, seperti apa rupa ayahnya, mengapa ayahnya belum pulang-pulang
juga. Tina juga dengan tegas membunuh sosok suaminya dari kehidupan Nika, anak
sematawayangnya.
Tina
dan Nika tinggal pada sebuah rumah gubuk sederhana. Rumah itu memiliki satu
kamar tidur yang pintunya berhadapan langsung dengan pintu dapur. Selebihnya hanya
ruang tamu berlantai tanah berisi satu meja, dan satu tenda besar, tempat Tina
menyimpan peralatan taninya. Tak ada hiasan apa-apa pada dinding gubuk. Hanya
ada sebilah parang peninggalan ayah Tina yang juga sudah meninggal ketika Tina
masih remaja, dan sebingkai foto Nika dengan pakaian seragam sekolahnya. Parang
dan foto itu dipajang berdampingan, bak foto presiden dan kawannya yang dipajang
pada ruang kelas di sekolah-sekolah.
Untuk
menghidupi ia dan anaknya, Tina bekerja sebagai buruh serabutan pada sawah
juragan-juragan tanah di kampung. Itupun tidak setiap hari. Jika beruntung, Tina
akan dipanggil untuk membersihkan hama atau sekadar menjadi tenaga penanam
padi. Selebihnya, jika tidak dipanggil bekerja, Tina seharian akan mengumpulkan
kayu bakar dari hutan di seberang persawahan desa. Meskipun seringkali
kesulitan, Tina merasa cukup akan kehidupannya. Asalkan anaknya bisa sekolah,
dan makan minum mereka sehari-hari terpenuhi, Tina merasa cukup. Toh ia masih
punya sertifikat tanah yang bisa digadai kalau-kalau ada kebutuhan mendesak. Tina
sudah siap dengan semua itu.
Hari
ini Nika tidak masuk sekolah. Sabtu kemarin ibu kepala sekolah memberitahukan
bahwa hari ini sekolah akan diliburkan, untuk memperingati hari kesehatan mental
sedunia. Seragam sekolah Nika dengan warna putih dan merah yang sudah mulai
pudar masih rapi tergantung di dalam kamar. Tina tidak main-main soal urusan
kerapihan seragam sekolah anaknya.
------
“Mimpi
apa kau semalam nak?” Tanya Tina sembari menyisir rambut Nika yang sedikit
kusut karena jarang terkena shampo-shampo modern.
Nika
diam saja.
“Tak
ada mimpi lagi?” tukas Tina sambil sekali-kali membenarkan letak kayu bakar
yang sudah hampir habis terbakar api.
Nika
tetap saja diam. Kali ini mukanya tidak lagi cemberut. Ia semacam terhipnotis
oleh bunga-bunga api yang melayang menuju tumpukan kayu bakar di atasnya. Nasi
yang ditanak Tina belum menujukan tanda-tanda matang. Tina melanjutkan
pembicaraannya.
“Baiklah,
jika Nika tidak mau cerita mimpimu semalam, biar ibu yang cerita mimpi ibu,”
lanjut Tina.
Nika
mulai tersenyum dan membenarkan posisi duduknya. Binar matanya begitu indah
ditempa oleh cahaya dari tunggu api. Dari dinding-dinding dapur, cahaya
matahari menerobos masuk, meciptakan tiang-tiang cahaya diagonal yang menyoroti
dramaturgi debu dan asap yang beterbangan di ruang dapur. Momen kesukaan Nika
sepanjang hari.
“Semalam
ibu bermimpi mengantar Nika berangkat ke sekolah. Sepanjang jalan, Nika begitu
asik melompat-lompat dan menyanyikan lagu-lagu yang sering ibu ajarkan di
rumah. Sesampainya di sekolah, Nika bersama teman-teman berbaris mengikuti apel
bendera, menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, mengikuti pelajaran, bermain-main di
halaman, dan masih banyak lagi. Senang sekali Nika saat itu,” cerita Tina
sambil sekali-sekali saling memandang dan tersenyum kepada Nika. Kadang Nika
cekikikan sendiri saking asik mendengar cerita ibunya. Rambut Nika belum juga
selesai disisir. Tinapun belum ingin selesai dengan ceritanya.
“Dalam
mimpi itu, Nika naik kelas begitu cepat,” lanjut Tina dengan nada semangat.
Nika sedikit terkejut dan semakin candu mendengar cerita Tina. Mata Nika kian
berbinar membayangkan dirinya dalam mimpi ibunya.
“Tiba-tiba
saja Nika naik kelas 4, tiba-tiba kelas 5, tiba-tiba kelas 6, tiba-tiba sudah
tamat SD. Cepat sekali waktu berjalan dalam mimpi ibu. Ibupun lalu menjemput
Nika pulang ke rumah. Kita berdua begitu bahagia sepanjang jalan. Ibu
membelikan Nika permen bulat besar warna-warni kesukaan Nika itu. Lalu kita
berdua akhirnya sampai di rumah,” tukas Tina sambil mengambil nafas panjang,
tanda batapa bahagianya Tina menceritakan mimpi itu. Rambut Nika hampir selesai
disisir. Nika kian bahagia dan asik cekikikan sendiri demi membayangkan dirinya
dalam mimpi ibunya itu.
Belum
selesai Nika terayu-ayu bahagia, Tina melanjutkan ceritanya.
“Semalam
ibu juga mimpi bertemu ayahmu,” cerita Tina dengan nada bicara yang tiba-tiba
berubah sendu dan melankolis.
“Ketika
Nika dan ibu sudah masuk ke dalam rumah, tiba-tiba ada langkah kaki yang
mendekat dari depan. Ibu melihat ayahmu datang ke pintu rumah sambil membawakan
boneka barbie yang Nika lihat di tv-tv itu. Demi melihatmu menyambutnya di
pintu, ayahmu langsung menangis bahagia, dan langsung memeluk dan mengangkat
Nika ke pundaknya. Ibu terharu dan menangis dalam mimpi itu,” tukas Tina
mengakhiri ceritanya yang ia lontarkan begitu saja.
Tina
sontak menutup mulutnya. Ia melepas sisir dari tangannya yang sedari tadi
begitu lihai memanjakan Nika. Mengapa ia ceritakan mimpi itu? Sosok yang sedari
lama Tina bunuh dari benak Nika, tiba-tiba ia hadirkan kembali kepada Nika
melalui cara yang paling keji. Tina baru saja meluluh-lantakan imaji indah yang
juga ia bangun sendiri dalam diri Nika. Apa yang sudah ia lakukan pada Nika?
Demikian gumam Tina dalam hati. Ekspresi wajah Tina berubah seketika,
seolah-olah ada kejahatan kesumat yang baru saja ia bangkitkan dari kematian. Tina
kalang-kabut.
Roman muka Nikapun berubah drastis. Rambut Nika sudah rapi tergerai, namun hatinya tiba-tiba kusut. Nika berbalik badan dan memandang Tina lamat-lamat. Matanya memancarkan pilu dan kekecewaan. Tina bingung dengan perilaku Nika. Baru kali ini Tina mendapatkan respon yang demikian. Apa yang sudah ia lakukan? Nika tiba-tiba mencekik Tina. Cekikan Nika demikian kuat, sampai-sampai Tina tak bisa bernafas. Tina tak kuasa melepas cekikan Nika. Nasi yang ditanak kini mendidih dan tertumpah keluar. Bara api yang terkena air meletup-letup tak karuan, demikian juga dengan asap yang meraung sejadinya. Tina tersungkur ke tanah, Nika mencekiknya dari atas. Tina memberontak, namun tetap tidak berdaya. Badan Tina mulai bergetar, Tina mulai hilang kesadaran.
-------
Samar-samar
terdengar bunyi ketukan dari pintu depan, kemudian disusul oleh bunyi deritan
pintu yang terbuka. Dua orang pria berseragam masuk ke dalam rumah. Dari ruang
tamu, seorang wanita yang kaki dan tangannya terpasung tiba-tiba bangun dari
lamunannya. Cahaya matahari dari pintu depan menerobos tepat pada wajahnya,
menyilaukan kedua mata cekungnya. Kantong matanya hitam legam, tanda begitu lama
ia terjaga dari tidurnya. Demi melihat kedua pria bersegaram itu, wanita itu tiba-tiba
berteriak sejadinya. Wajah dan matanya menunjukan ketakutan seperti ada yang
mengejarnya. Tangan dan kakinya yang terluka karena pasung memberontak ingin
segera dikeluarkan.
“Kami
petugas vaksin bu. Sebelumnya kami mohon maaf. Sudah waktunya ibu mendapatkan
vaksin dosis yang ketiga,” tukas salah seorang pria mengiringi teriakan wanita
dalam pasungan itu yang makin lama makin parau, makin lama makin hilang.
Seorang
pria mulai menyiapkan jarum vaksinnya, sementara pria yang satu lagi menyiapkan
sepotong kartu dan sebatang pena. Cukup lama kegaduhan itu terjadi. Wanita
dalam pasungan mulai kehabisan tenaganya. Ia mulai kehilangan suaranya. Tak
mampu lagi ia berteriak, tetapi ketakutan itu masih saja terpampang pada wajah
dan matanya.
Dibiarkannya
apa yang kedua petugas itu lakukan padanya. Salah satu petugas vaksin membuka
penutup jarum, lalu perlahan menyuntikannya pada bahu wanita itu, dan perlahan
pula menarik jarum itu. Wanita itu tetap saja datar. Ia tak lagi merasakan
apa-apa, seolah-olah tubuhnya sudah mati rasa. Sejenak wanita itu menatap kedua
petugas vaksin lamat-lamat ketika mereka membereskan perlengkapan vaksin. Kedua
petugas lalu itu pamit pulang. Pintu rumahpun kembali ditutup. Selebihnya,
entah sampai kapan, wanita itu hanya memandang ke depan dengan tatapan kosong.
Pada
dinding di hadapan wanita itu terpampang foto seorang anak perempuan yang setahun
lalu meninggal karena demam berdarah. Cahaya yang menerobos dari celah papan
pintu depan membelah foto itu pada bagian tengah. Seragam merah-putih yang
dipakai anak dalam foto itu nampak berkilau, sementara bagian kaki dan wajahnya
redup tak tersentuh cahaya.
Wanita itu tidak sedikitpun memalingkan pandangan kosongnya. Ia tahu benar itu, anak perempuan dalam foto itu sudah meninggal tahun lalu karena demam berdarah.
Komentar
Posting Komentar