Langsung ke konten utama

Bagian-Bagian Rumah


Air sisa cucian yang sedari tadi ditumpahkan masih saja menetes, menciptakan genangan berlumpur di sekitar tenda cucian. Hampir mirip rawa-rawa kecil. Beberapa bungkus sabun colek ekonomis nampak berserakan di sekitar tenda, begitu juga dengan butir-butir nasi sisa makanan. Tenda cucian yang licin dan hitam legam pada bagian atasnya, genangan lumpur hitam di sekitarnya, serta bungkus-bungkus sabun colek yang sudah pudar warnanya membuktikan umur tenda itu, dan betapa banyaknya air sisa cucian yang selama ini ditumpahkan padanya.

Seorang wanita jangkung berdaster melangkah ke dalam rumah melalui pintu dapur. Rambutnya yang sebagian beruban nampak berkilau ditempa cahaya matahari pagi, khas rambut-rambut wanita desa yang rutin digumuli santan kelapa tua. Otot-otot tangannya nampak mengencang seiring diangkatnya sebaskom cucian perkakas makan yang semalam dipakai. Demikian juga dengan otot-otot kaki yang mengancang seiring ia melangkah, tanda beratnya cucian perkakas yang ia bawa.

Dengan hati-hati Tina menurunkan baskom tersebut ke lantai tanah, lalu satu persatu memindahkan perkakas pada rak piring yang sudah mulai miring di sudut dapur. Sesekali ia berhenti untuk mengambil jeda bagi punggungnya yang berkali-kali dipaksa naik-turun.

Dari dalam kamar, terdengar derit tempat tidur, diikuti oleh bunyi tempangan selimut dan bantal. Beberapa waktu kemudian seorang anak perempuan keluar dari dalam kamar menuju dapur. Rambutnya nampak masih berantakan. Digosok-gosok matanya, ditentengnya sebuah sisir plastik yang sudah mulai terkelupas lapisan luarnya. Mukanya cemberut menandakan belum penuh nyawanya terkumpul.

Diambilnya sebuah gelas dari rak piring, dituangkannya air dari cerek di meja makan. Berjalan ia menuju pintu dapur, berkumur ia sejenak, dibuangnya air kumuran itu, lalu diminumnya sisa air dalam gelas. Mukanya masih saja cemberut. Ia berjalan menuju pangkuan ibunya yang sedang duduk di depan tungku api, lalu diberikannya sisir di tangannya.

Pada tungku di depan mereka, nasi sedang ditanak pada sebuah dandang kecil, porsi yang cukup untuk mereka berdua. Setengah piring wareng goreng sisa lauk semalam yang kemarin didapat Tina dari sawah masih menunggu untuk dipanaskan kembali. Di bagian atas tungku itu terususun rapi setumpuk kayu bakar yang nampak hitam digumuli asap setiap hari. Tina mulai menyisir rambut anaknya. Begitu lembut Tina menggumuli rambut anaknya dengan sisir yang sudah tak layak lagi dipakai. Sesekali sisir itu mampat akibat rambut anaknya yang kian kusut, namun lagi-lagi diatasi Tina dengan begitu lembut. Perihal menyisir rambut anak, tidaklah ada yang lebih pandai dari seorang ibu. Tina membuktikannya setiap hari tanpa sedikitpun membiarkan rambut anaknya kusut.

Tina dan anak sematawayangnya Nika, sudah lama hidup berdua. Beberapa tahun lalu, suami Tina memutuskan untuk merantau dan meninggalkan ia dan anaknya. Sudah lama suaminya tidak berkabar. Beberapa kabar burung pernah sampai ke telinga Tina. Ada yang bilang suaminya sudah meninggal karena penyakit paru, ada juga yang bilang suaminya sudah mengambil istri baru.

Bagi Tina, suaminya sudah mati sejak dua tahun pertama perantauan. Tidak ada kisah lain yang bisa hinggap di telinga Tina. Sudah mati atau masih hidup, Tina benar-benar sudah membunuh sosok suaminya dari kepala dan kehidupannya. Hal yang sama menjadi jawaban Tina setiap kali Nika menanyakan perihal dimana ayahnya sekarang, seperti apa rupa ayahnya, mengapa ayahnya belum pulang-pulang juga. Tina juga dengan tegas membunuh sosok suaminya dari kehidupan Nika, anak sematawayangnya.

Tina dan Nika tinggal pada sebuah rumah gubuk sederhana. Rumah itu memiliki satu kamar tidur yang pintunya berhadapan langsung dengan pintu dapur. Selebihnya hanya ruang tamu berlantai tanah berisi satu meja, dan satu tenda besar, tempat Tina menyimpan peralatan taninya. Tak ada hiasan apa-apa pada dinding gubuk. Hanya ada sebilah parang peninggalan ayah Tina yang juga sudah meninggal ketika Tina masih remaja, dan sebingkai foto Nika dengan pakaian seragam sekolahnya. Parang dan foto itu dipajang berdampingan, bak foto presiden dan kawannya yang dipajang pada ruang kelas di sekolah-sekolah.

Untuk menghidupi ia dan anaknya, Tina bekerja sebagai buruh serabutan pada sawah juragan-juragan tanah di kampung. Itupun tidak setiap hari. Jika beruntung, Tina akan dipanggil untuk membersihkan hama atau sekadar menjadi tenaga penanam padi. Selebihnya, jika tidak dipanggil bekerja, Tina seharian akan mengumpulkan kayu bakar dari hutan di seberang persawahan desa. Meskipun seringkali kesulitan, Tina merasa cukup akan kehidupannya. Asalkan anaknya bisa sekolah, dan makan minum mereka sehari-hari terpenuhi, Tina merasa cukup. Toh ia masih punya sertifikat tanah yang bisa digadai kalau-kalau ada kebutuhan mendesak. Tina sudah siap dengan semua itu.

Hari ini Nika tidak masuk sekolah. Sabtu kemarin ibu kepala sekolah memberitahukan bahwa hari ini sekolah akan diliburkan, untuk memperingati hari kesehatan mental sedunia. Seragam sekolah Nika dengan warna putih dan merah yang sudah mulai pudar masih rapi tergantung di dalam kamar. Tina tidak main-main soal urusan kerapihan seragam sekolah anaknya.

------

“Mimpi apa kau semalam nak?” Tanya Tina sembari menyisir rambut Nika yang sedikit kusut karena jarang terkena shampo-shampo modern.

Nika diam saja.

“Tak ada mimpi lagi?” tukas Tina sambil sekali-kali membenarkan letak kayu bakar yang sudah hampir habis terbakar api.

Nika tetap saja diam. Kali ini mukanya tidak lagi cemberut. Ia semacam terhipnotis oleh bunga-bunga api yang melayang menuju tumpukan kayu bakar di atasnya. Nasi yang ditanak Tina belum menujukan tanda-tanda matang. Tina melanjutkan pembicaraannya.

“Baiklah, jika Nika tidak mau cerita mimpimu semalam, biar ibu yang cerita mimpi ibu,” lanjut Tina.

Nika mulai tersenyum dan membenarkan posisi duduknya. Binar matanya begitu indah ditempa oleh cahaya dari tunggu api. Dari dinding-dinding dapur, cahaya matahari menerobos masuk, meciptakan tiang-tiang cahaya diagonal yang menyoroti dramaturgi debu dan asap yang beterbangan di ruang dapur. Momen kesukaan Nika sepanjang hari.

“Semalam ibu bermimpi mengantar Nika berangkat ke sekolah. Sepanjang jalan, Nika begitu asik melompat-lompat dan menyanyikan lagu-lagu yang sering ibu ajarkan di rumah. Sesampainya di sekolah, Nika bersama teman-teman berbaris mengikuti apel bendera, menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, mengikuti pelajaran, bermain-main di halaman, dan masih banyak lagi. Senang sekali Nika saat itu,” cerita Tina sambil sekali-sekali saling memandang dan tersenyum kepada Nika. Kadang Nika cekikikan sendiri saking asik mendengar cerita ibunya. Rambut Nika belum juga selesai disisir. Tinapun belum ingin selesai dengan ceritanya.

“Dalam mimpi itu, Nika naik kelas begitu cepat,” lanjut Tina dengan nada semangat. Nika sedikit terkejut dan semakin candu mendengar cerita Tina. Mata Nika kian berbinar membayangkan dirinya dalam mimpi ibunya.

“Tiba-tiba saja Nika naik kelas 4, tiba-tiba kelas 5, tiba-tiba kelas 6, tiba-tiba sudah tamat SD. Cepat sekali waktu berjalan dalam mimpi ibu. Ibupun lalu menjemput Nika pulang ke rumah. Kita berdua begitu bahagia sepanjang jalan. Ibu membelikan Nika permen bulat besar warna-warni kesukaan Nika itu. Lalu kita berdua akhirnya sampai di rumah,” tukas Tina sambil mengambil nafas panjang, tanda batapa bahagianya Tina menceritakan mimpi itu. Rambut Nika hampir selesai disisir. Nika kian bahagia dan asik cekikikan sendiri demi membayangkan dirinya dalam mimpi ibunya itu.

Belum selesai Nika terayu-ayu bahagia, Tina melanjutkan ceritanya.

“Semalam ibu juga mimpi bertemu ayahmu,” cerita Tina dengan nada bicara yang tiba-tiba berubah sendu dan melankolis.

“Ketika Nika dan ibu sudah masuk ke dalam rumah, tiba-tiba ada langkah kaki yang mendekat dari depan. Ibu melihat ayahmu datang ke pintu rumah sambil membawakan boneka barbie yang Nika lihat di tv-tv itu. Demi melihatmu menyambutnya di pintu, ayahmu langsung menangis bahagia, dan langsung memeluk dan mengangkat Nika ke pundaknya. Ibu terharu dan menangis dalam mimpi itu,” tukas Tina mengakhiri ceritanya yang ia lontarkan begitu saja.

Tina sontak menutup mulutnya. Ia melepas sisir dari tangannya yang sedari tadi begitu lihai memanjakan Nika. Mengapa ia ceritakan mimpi itu? Sosok yang sedari lama Tina bunuh dari benak Nika, tiba-tiba ia hadirkan kembali kepada Nika melalui cara yang paling keji. Tina baru saja meluluh-lantakan imaji indah yang juga ia bangun sendiri dalam diri Nika. Apa yang sudah ia lakukan pada Nika? Demikian gumam Tina dalam hati. Ekspresi wajah Tina berubah seketika, seolah-olah ada kejahatan kesumat yang baru saja ia bangkitkan dari kematian. Tina kalang-kabut.

Roman muka Nikapun berubah drastis. Rambut Nika sudah rapi tergerai, namun hatinya tiba-tiba kusut. Nika berbalik badan dan memandang Tina lamat-lamat. Matanya memancarkan pilu dan kekecewaan. Tina bingung dengan perilaku Nika. Baru kali ini Tina mendapatkan respon yang demikian. Apa yang sudah ia lakukan? Nika tiba-tiba mencekik Tina. Cekikan Nika demikian kuat, sampai-sampai Tina tak bisa bernafas. Tina tak kuasa melepas cekikan Nika. Nasi yang ditanak kini mendidih dan tertumpah keluar. Bara api yang terkena air meletup-letup tak karuan, demikian juga dengan asap yang meraung sejadinya. Tina tersungkur ke tanah, Nika mencekiknya dari atas. Tina memberontak, namun tetap tidak berdaya. Badan Tina mulai bergetar, Tina mulai hilang kesadaran.

-------

Samar-samar terdengar bunyi ketukan dari pintu depan, kemudian disusul oleh bunyi deritan pintu yang terbuka. Dua orang pria berseragam masuk ke dalam rumah. Dari ruang tamu, seorang wanita yang kaki dan tangannya terpasung tiba-tiba bangun dari lamunannya. Cahaya matahari dari pintu depan menerobos tepat pada wajahnya, menyilaukan kedua mata cekungnya. Kantong matanya hitam legam, tanda begitu lama ia terjaga dari tidurnya. Demi melihat kedua pria bersegaram itu, wanita itu tiba-tiba berteriak sejadinya. Wajah dan matanya menunjukan ketakutan seperti ada yang mengejarnya. Tangan dan kakinya yang terluka karena pasung memberontak ingin segera dikeluarkan.

“Kami petugas vaksin bu. Sebelumnya kami mohon maaf. Sudah waktunya ibu mendapatkan vaksin dosis yang ketiga,” tukas salah seorang pria mengiringi teriakan wanita dalam pasungan itu yang makin lama makin parau, makin lama makin hilang.

Seorang pria mulai menyiapkan jarum vaksinnya, sementara pria yang satu lagi menyiapkan sepotong kartu dan sebatang pena. Cukup lama kegaduhan itu terjadi. Wanita dalam pasungan mulai kehabisan tenaganya. Ia mulai kehilangan suaranya. Tak mampu lagi ia berteriak, tetapi ketakutan itu masih saja terpampang pada wajah dan matanya.

Dibiarkannya apa yang kedua petugas itu lakukan padanya. Salah satu petugas vaksin membuka penutup jarum, lalu perlahan menyuntikannya pada bahu wanita itu, dan perlahan pula menarik jarum itu. Wanita itu tetap saja datar. Ia tak lagi merasakan apa-apa, seolah-olah tubuhnya sudah mati rasa. Sejenak wanita itu menatap kedua petugas vaksin lamat-lamat ketika mereka membereskan perlengkapan vaksin. Kedua petugas lalu itu pamit pulang. Pintu rumahpun kembali ditutup. Selebihnya, entah sampai kapan, wanita itu hanya memandang ke depan dengan tatapan kosong.

Pada dinding di hadapan wanita itu terpampang foto seorang anak perempuan yang setahun lalu meninggal karena demam berdarah. Cahaya yang menerobos dari celah papan pintu depan membelah foto itu pada bagian tengah. Seragam merah-putih yang dipakai anak dalam foto itu nampak berkilau, sementara bagian kaki dan wajahnya redup tak tersentuh cahaya.

Wanita itu tidak sedikitpun memalingkan pandangan kosongnya. Ia tahu benar itu, anak perempuan dalam foto itu sudah meninggal tahun lalu karena demam berdarah. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Pembelajaran Online

                                                 Pandemi covid-19 sampai saat ini semakin menunjukan dampak desktruktifnya yang multidimensional. Hampir semua bidang kehidupan manusia jatuh terbengkalai. Solusi atau gagasan work from home atau slogan-slogan seperti di rumah aja, ternyata belum efektif untuk mengakomodasi terbengkalainya sector-sektor kehidupan masyarakat. Selain itu, beberapa solusi sektoral pada bidang tertentu terbukti memperparah krisis pada bidang lainnya. Misalnya adalah kebijakan pemotongan dana bos untuk kepentingan medis, yang kemudian berdampak pada lesunya sector pendidikan hampir pada semua level, baik pendidikan dasar ataupun pendidikan tinggi. Sampai disini kita sepakat bahwa kerusakan yang diakibatkan oleh pandemi covid-19 bukan hanya multidimensional (multi-sector) tertapi juga terjadi secara sistemik, yakni dari bidang yang s...

Sapardi Hidup Lagi

Sayup matamu jelas terlihat dari foto-foto lawas yang diunggah oleh muda-mudi sosialita. Kau terlihat rupawan dengan topi nyentrik dan wajah oval berkerut. Garis wajahmu menyilang satu sama lain. Persis hujan bulan Juni dan kesederhanaan cintamu pada dunia, yang bercampur indah dalam alunan syairmu. Aneh juga. Mereka tiba-tiba sedih dan beramai-ramai jatuh cinta padamu. Ada yang tahu kau siapa. Ada yang tau apa yang sudah kau buat. Ada juga yang benar-benar jatuh cinta padamu. Ada juga yangbenar tidak tahu kau siapa. Barang kali hanya karena kebetulan melihat wajahmu pada qoute-quote cinta pada gawai mereka. Maka benarlah katamu. 'Aku mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. 'Kau harus mati dahulu, agar kau hidup. Begitukah?Beberapa bertanya, 'apakah kau mati dibunuh zaman? Apakah kau sudah tidak tahan menjadi hujan bulan Juni, yang kau syairkan begitu indah? Atau apakah cinta Tuhan sudah selesai padamu? ...