Foto: CNN,10/8/2020
‘Netizen’
dewasa ini menjadi semacam orientasi dari segala macam kegiatan digital, baik
kegiatan ekonomi, kegiatan politik, kegiatan sosial, ataupun kegiatan berbasis
massa lainnya. Hal ini sebenarnya terjadi karena masyarakat sudah ‘hidup’ dalam
dunia digital (digital society).
Sebut saja dalam hal promosi suatu produk. Mengetahui karakter netizen dan kemudian menguasai cara
menarik minatnya adalah hal utama yang mesti dilakukan agar promosi bisa
berjalan baik.
Karakter yang dimaksudkan disini misalnya
budaya nyinyir yang kental tanpa belas kasihan, oknum khusus yang sedang
menjadi fokus nyinyir netizen, suatu
tren tunggal yang massal, atau juga karakter lainnya yang seyogyanya dapat
dijadikan celah promosi. Dengan kata lain, keberhasilan di dunia digital adalah
tentang memenangkan hati netizen.
Topik tentang netizen memang tidak habis-habisnya. Portal-portal berita yang juga
secara rutin menjadikan komentar netizen
sebagai judul beritanya (clickbait)
membuat pembicaraan tentang Netizen
semakin ramai saja. Penggunaan second
account, ruang publik yang begitu bebas dan tak kenal batas menjadikan netizen seperti mahkluk sacral tanpa
batas moral dan aturan. Pada titik ini dapat dilihat UU ITE belum berfungsi
secara maksimal. Atau jika spekulasi politik yang lebih jauh bisa ditarik, maka
agaknya UU ITE hanya menjadi gertakan pemerintah yang minim penegakan.
Lalu bagaimana dengan politisi yang juga
menjabat sebagai netizen atau netizen yang kebetulan menyamar menjadi
siluman politisi? Apakah tugas-tugas etisnya sebagai pemangku kepentingan
public/partai akan mewarnai citranya sebagai netizen? Apakah budaya sopan-santun, saling mendengarkan, diskusi,
berorientasi solusi, layaknya karakter wajib tokoh besar pada sebuah negara
demokrasi akan menjadi tampilan berandanya sebagai netizen?
Hobi Nyinyir Politisi
Jika politisi adalah perwakilan dari berbagai
macam kepentingan dalam masyarakat demokrasi, maka dapatlah dikatakan bahwa
politisi suatu negara adalah gambaran wajah demokrasinya. Semakin berkualitas
politisi suatu negara, maka semakin berkualitas pula wajah demokrasi negara
tersebut. Asumsi ini tentunya tanpa mengabaikan indikator demokrasi lainnya.
Namun, kualitas politisi yang bagus dan berorientasi rakyat secara umum akan
mempengaruhi lajur indokator lain di bidang demokrasi. Misalnya tingkat
partisipasi politik, pengetahuan politik, dan sebagainya.
kembali kepada budaya nyinyir. Nyinyir secara umum muncul sebagai reaksi
spontan terhadap sesuatu yang dianggap melanggar/menyusahkan/meresahkan/membingungkan,
dan masih banyak modus lagi. Tidak jarang juga nyinyir muncul tanpa sebab. Entah karena katigihan melakukannya atau juga karena sentimen. Netizen Indonesia tentunya tidak asing
dengan hal ini. Kita patut diberi penghargaan dalam bidang nyinyir.
Penyakit nyinyir netizen yang secara tidak langsung telah menyetir topik-topik
pemberitaan nasional ternyata juga menjangkiti politisi. Para politisi kita yang
kebetulan juga adalah netizen
ternyata juga sangat kental dengan budaya nyinyir. Sebut saja Fadli Zon, Fahri
Hamzah, dan lawan-lawan politik mereka.
Pertarungan verbal mereka di twitter misalnya. Olok-olokan, saling
semprot, bongkar-membongkar aib, dan berbagai macam tindakan kekanak-kanakan
lainnya sering kali mewarnai beranda mereka. Mereka jarang sekali
memperlihatkan sikap bijaknya sebagai politisi atau pejabat negara. Nyinyiran
paling fenomenal dari Fadli Zon misalnya tentang puisi, nawaduka, doraemon, dan
yang baru-baru ini soal mal summarecon. Belum lagi nyinyiran Fahri, dan yang
lain.
Bagi negara demokrasi sebesar Indonesia,
kelakuan mereka ini patut diacungi jempol dalam bidang popularitas media
sosial. Jika boleh bertanya, siapa pengguna twitter
Indonesia yang tidak kenal dua orang ini? Mereka begitu terkenal dan sudah
dapat dikatakan sebagai influencer
kelas atas. Akun twitter keduanya
telah diverifikasi. Follower mereka
di twitter lebih dari 1 juta untuk
masing-masing (Fadli dan Fahri).
Dengan kenyataan yang demikian, ada spekulasi
besar pada benak publik yang seharusnya muncul. Jika fadli Zon dan Fahri Hamzah
adalah beranda digital landscape
politik kita, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi
terhebat dalam hal nyinyir. Sangat kelihatan mereka membela kepentingan
politiknya, bukan kepentingan negara.
Benar saja, mereka hanya netizen yang kebetulan politisi. Rasa hormat terhadap lawan politik,
sepertinya sudah tidaka ada lagi. Satire-satire pedis yang sama sekali tidak
menggambarkan sikap seorang negarawan terus digunakan. Sering kali sasarannya
bukan tindakan politik, namun orang dibaliknya. Makanya selalu kelihatan tidak
suka, apapun bentuknya. Motif nyinyirnya bukan kebijakan, tetapi murni
sentimen.
Jika politisi seperti mereka dibiarkan terus
bermedia sosial dengan cara yang demikian, maka bukan tidak mungkin netizen Indonesia akan semakin pandai
dalam mengoceh, menyinyir, memaki-maki, dan sebagainya. Tanpa mengabaikan
manfaat penting dari kritik (termasuk nyinyir) sebagai bentuk kerja oposisi dan
sebagai suntikan keseimbangan politik terhadap pemerintah, cara mereka
melakukannya tetap kurang tepat.
Mereka punya basis massa digital dan basis massa
politik yang sangat besar. Mereka/politisi bisa saja memimpin kita dalam
degradasi moral besar-besaran melalui akun media sosial mereka. Bukan tidak
mungkin nilai-nilai luhur demokrasi akan semakin luntur dan digantikan
ocehan-ocehan penuh kepentingan dan tidak esensial secara demokrasi. Kita bukan
kumpulan mangsa politik yang bisa seenaknya dikendalikan. Kita ini rakyat. Kita
tuannya demokrasi.
Mari berdikari dengan nurani sendiri!
Komentar
Posting Komentar